Hi! Stranger

Hi Stranger cover

Hi! Stranger || Author: Busan Girl || Genre: Friendship, Sad. A little bit romance *sbnrnya mereka bukan couple/saling suka, cuma tmn”ku yg udah baca pada bilang ada romancenya sedikit* || Length: Vignette

Cast:

  • Lee Jieun (IU)
  • Jung Daehyun (B.A.P)
  • IU’s Parent

Cameo:

  • Yoo Youngjae (B.A.P)

Summary:

Jieun tak pernah bersyukur atas kehidupanya, ia merasa ialah orang paling menderita di dunia ini. Sampai sampai ada seorang pria asing, yang tanpa ia tahu akan merubah semuanya..

Disclaimer: DO NOT PLAGIARSM THIS FANFICTION! ITS PURE BASED ON MY IMAGINATION.

This Fanfiction had been published in bacafanfic.wordpress.com

“Aku tak mengenalmu tapi, terima kasih”

 

 

Anak perempuan itu menundukan kepalanya. Pundaknya naik turun naik turun. Beberapa cairan bening itu sempat mengalir di jari telunjuknya yang sedang mengucak kucak matanya.

Memang, setiap hari selalu menjadi hari yang sial untuknya. Ia tidak pernah ingin pulang ke rumah. Ia tak mau untuk bertemu kedua orang tuanya. Kedua orang yang kini tengah melempar seluruh benda yang ada di rumah. Kedua orang tua yang tengah emosi, liar dan luar kendali.

Ia beberapa kali terheran heran dengan hidupnya.

Tak pernah ada sehari ia melihat orang tuanya damai, tak pernah ia melihat pemandangan baik begitu ia membuka pintu rumahnya sepulang sekolah. semua yang ia lihat hanyalah kerusakan, beling beling dari pecahan vas bunga, dan malah beberapa benda yang tak jelas lagi bentuknya.

“Hei.. mengapa kau menangis?” suara lembut seseorang mengalun. Sontak anak perempuan itu mendongkak, dan mendapati seorang anak laki laki yang kira kira sebaya denganya tersenyum.

“Hai, kau terlihat sedih. Ada apa?” Tanyanya sekali lagi, anak perempuan itu terlihat ketakutan. Ia kembali menunduk dan menangis. Bocah itu pada akhirnya duduk di sampingnya, kemudian mengelus elus punggung gadis tersebut.

“Tak apa, ceritakan saja padaku. Aku bukan anjing yang menggigit. Anggap saja aku temanmu! Hehehe” Sahutnya. Untuk sementara itu ia terhenyak, untuk pertama kalinya ia mendapatkan perhatian.

“Ibu dan ayahku.. mereka selalu bertengkar”

Bocah itu tersenyum tipis mendengarkan penjelasan anak perempuan itu, kemudian ia mengangkat wajah gadis kecil itu dan menghapus air matanya menggunakan ibu jarinya.

“Aku membenci mereka! Aku membencinya!” Seru gadis itu setengah berteriak. Bocah itu hanya bisa kembali tersenyum, meninggalkan kesan yang membuat anak perempuan itu terheran heran.

“Kau.. mengapa selalu tersenyum?” Tanyanya pelan.

“Hm?” ujar bocah itu meminta anak itu untuk mengulangi pertanyaanya, suara perempuan itu terlalu serak akibat menangis, belum lagi volumenya yang kecil.

“Mengapa kau selalu tersenyum?” Ulangnya. Sayangnya, pertanyaan itu sekali lagi tak di hiraukan oleh bocah tersebut. Ia tersenyum jahil kemudian mendekatkan telinganya pada mulut gadis tersebut.

“Apa kau bilang?”

“Tidak! Kau menyebalkan!”

“Ah, tolong ulangi. Telingaku begitu kotor sehingga aku tak bisa mendengarnya. Hmm.. jika ku pikir pikir, aku hanya mengoreknya dua kali selama hidupku ini!”

“HAHAHAHAHHAA!!!” Pernyataan bocah itu sukses membuat anak perempuan tersebut tertawa. Bocah itu tersenyum tipis.

“Nah begitu dong, tersenyum kan lebih baik..” Anak perempuan itu kembali terdiam, mendapati bocah itu yang ternyata berbohong demi kebaikan dan juga usahanya yang membuatnya untuk tertawa, ia kembali termenung dalam pikiranya.

“Hei, kau melamun ya? Aku mendengar pertanyaanmu kok tadi. Maaf, aku berbohong.. kau ingin tahu mengapa aku selalu tersenyum bukan?” Anak perempuan itu mengangguk cepat, kemudian ia mempersiapkan telinganya untuk mendengar dengan baik.

“Cepat katakan!” Pinta anak perempuan itu tak sabaran. Bocah itu kembali tersenyum melihat tingah anak perempuan itu.

“Aku.. aku ingin membagi kebahagiaan ku kepada orang orang lain yang sedang sedih. Aku ingin mereka merasakan kalau mereka itu individu yang unik, yang tak pernah ada di dunia ini. Sehingga mereka tak sedih lagi. Menurutku, orang akan tersenyum jika melihat orang lain tersenyum untuknya” Sahut bocah itu.

“Seperti kau.. kau individu yang unik, kau ingin membuat orang orang di sekitarmu bahagia bukan?” Oh ternyata, anak perempuan itu sudah mengerti. Bocah itu tersenyum tipis, lalu melirik sekilas jam berwarna putih yang melingkar di tangan kirinya itu.

“Hei! Ini sudah hampir malam, pulang lah” perintah bocah itu.

“Tidak mau! Aku tak ingin melihat mereka sedang bertengkar, kan aku sudah bilang kalau aku tak menyukai mereka!” perempuan itu menolak sambil menggeleng kan kepalanya itu cepat, membuat helaian rambut hitamnya goyang kesana kemari.

“Hei.. Mereka pasti khawatir, bagaimana’pun juga kau kan anak mereka! Dengarkan. Jika kau tidak menyukai keluargamu sendiri, siapa orang orang asing atau teman teman mu yang akan menyukai keluargamu? Mereka akan memandang keluarga kalian rendah!”

Hening. Gadis itu terlihat menundukan kepalanya. Disisi lain, bocah tersebut terlihat terkejut dengan ucapanya yang kedengaranya sangat sangat menancap.

“Memang, kau benar! Baiklah, aku akan pulang” Gadis itu kembali melemparkan senyuman yang manis. Sama halnya dengan bocah tersebut.

“hmmm..” Bocah itu mengangkat tangan gadis itu pelan, kemudian melepaskan gelang yang menggantung di tanganya itu. “Lee.. Jieun” Gumam bocah tersebut membaca tulisan yang tertera di gelang anak perempuan itu

“Hei! Apa yang kau lakukan dengan gelangku?” Gadis itu berniat mengambil kembali gelang tersebut, sayangnya bocah itu mengangkatnya tinggi tinggi. Tak perduli beberapa kali gadis itu melompat lompat, tingginya belum cukup untuk meraih gelang tersebut.

“Lee Jieun. Nama yang bagus! Anggap ini tanda perkenalan kita yah? Hehehe.. Aku pergi dulu, kau pulang lah! Sampai jumpa!!” Bocah itu berlari dengan kencang.

“Hei! Tunggu! Pe-perkenalan?” Lirih Jieun pelan “Aku bahkan belum sempat menanyakan namamu” lanjutnya

***

Jieun melangkah dengan malas, menaiki beberapa anak tangga yang ada di depan rumahnya. Ia tahu ia memang harus pulang, tetapi niatnya selalu hancur begitu ia mendengarkan suara teriakan ibunya dari depan rumah, sampai mendengar suara perabotan rumah yang di lempar oleh ayahnya sendiri.

Seandainya bocah itu tak memintanya untuk pulang, mungkin saja ia akan selalu kabur. Oh tidak, mungkin saja ia sudah tak ada di kota ini lagi dan menghapus kontak nya dengan keluarganya sejak 13 tahun yang lalu.

Ia menghirup udara sore tersebut, lalu menghembuskanya dengan kencang. Menyiapkan senyuman terbaik untuk di pamerkan kepada kedua orang tuanya itu. Meskipun ia tahu semua akan menjadi sia sia.

‘Ceklek’ Ia memberani kan diri untuk membuka pintu. Sama seperti dulu, pemandangan yang ia lihat paling pertama adalah keadaan rumahnya yang tak utuh. Ayahnya yang sudah tak berada di ruang tamu dan mengunci dirinya di kamar, serta ibunya yang tertunduk lemas di sofa ruang tamu.

“Ibu, aku pulang!” Ujarnya. Ibunya tak menghiraukan pamit dari anak nya itu. Kedua jari telunjuk dan jempolnya itu terlihat sedang memijat mijat dahinya yang pusing.

Jieun tahu, semuanya sama. Tak berubah, ia’pun memutuskan untuk naik dan masuk ke kamarnya. Tepat ketika ia ingin masuk ke kamarnya, ia menangkap keberadaan sang ayah yang baru keluar dari kamar sebelah.

“Ayah, aku sudah pulang” Ujar Jieun tersenyum. Ayahnya terlihat tak tertarik untuk menjawab perkataan anaknya, ia kembali masuk ke kamarnya dan menutup pintu.

Jieun tersenyum pahit, ia’pun masuk ke kamarnya. Hal rutin yang ia lakukan tentu saja membuka laptopnya itu, mempersiap kan hal hal yang akan ia kerjakan untuk di kumpulkan kepada dosenya beberapa bulan lagi.

Ia duduk di depan laptopnya tersebut, kemudian berkutat dengan keyboard di laptopnya itu. Merasa tak bisa berkonsentrasi, ia menutup laptopnya secara kasar dan merebahkan dirinya di kasur yang empuk.

Pikiranya itu pun kembali melayang pada kejadian ketika ia masih berumur 7 tahun.

“Menurutku, orang akan tersenyum jika orang lain tersenyum untuknya!” perkataan itu tergiang berkali kali di telinganya.

“Kau bilang seperti itu. Lalu mengapa ketika aku tersenyum, orang tuaku tak tersenyum?” gumam Jieun pelan. Sangat pelan.

“Kau tahu? Sejak hari itu aku selalu menghabiskan waktu sekitar satu jam setiap hari untuk menunggumu, tapi.. mengapa kau tak pernah datang?” kata Jieun sekali lagi, yang mungkin hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri.

“13 tahun belakangan ini selalu penuh dengan misteri. Kau tahu? Namamu itu adalah kepingan puzzle paling penting yang hilang, dan bahkan aku tak mengetahui seperti apa kau sekarang.”

Memang mungkin Jieun terlihat bodoh, berbicara padanya sendiri. Tetapi, biarkan sajalah.. biarkan benda benda di rumahnya dan udara di sekitarnya menjadi pendengar yang bisu untuknya.

Jieun melirik jam dinding yang tergantung diatas pintu kamarnya itu, lalu tersenyum dan mengambil ponselnya diatas meja. Tak perlu hitungan menit, ia sudah berada di bawah.

Niat awalnya yang ingin pergi ke taman kota itu ia batalkan, melihat kedua orang tuanya duduk dengan tenang untuk pertama kalinya di ruang tamu di sertai dua pria tua lainya masing masing di samping mereka.

Tunggu. Ada apa?

“Ayah, Ibu.. Eum.. Siapa mereka?” Tanya Jieun was was, lantaran ia takut malah akan di marahi oleh kedua orang tuanya karena salah bertanya.

“Mereka? Pengacara. Kami akan bercerai” Jawab ayahnya singkat. Seketika tubuh Jieun membeku.

Secepat ini’kah? Ia memang tahu suatu saat nanti kedua orang tuanya akan berpisah. Sayangnya ia tak menduga kalau hal ini terjadi begitu cepat. Ia belum siap untuk menerima kenyataan pahit ini.

“Nyonya Lee, Bapak Lee.. Silahkan tanda tangan disini” Sahut salah satu pengacara, menunjuk sebuah bagian putih kertas diatas nama mereka di sudut kiri dan kanan bawah kertas tersebut.

Di saat yang bersamaan, nyonya Lee mengangkat pulpenya, dan mendaratkan ujung runcingnya yang mengeluarkan tinta itu di salah satu tempat yang ditunjukan oleh sang pengacara. Hal yang sama itu juga dilakukan oleh bapak Lee.

“Baiklah, dengan ini kalian bukan sepasang suami istri lagi” Ujar sang pengacara, mereka berdiri dari duduknya. Saling bersalaman dan membungkuk sopan, kemudian kedua pengacara itu meninggalkan rumah yang kini menjadi sangat hening.

Dan tentu saja. Hening itu tak bertahan lama.

“aku yang akan membawa Jieun” Ayahnya mengambil kesimpulan cepat.

“Apa? Kau bahkan tak pernah berada di rumah lebih dari 1 jam! Dan sekarang kau ingin membawanya? Cih, Kau tak berhak menjadi ayahnya! Aku yang akan membawanya” Lawan sang Ibu. Tentu saja hal ini berhasil membuat emosi ayah Jieun memuncak.

“Apa?” Tanganya teracung di udara, siap untuk mendaratkanya secara kasar di pipi ibu Jieun.

“BERHENTI!!!” Teriak Jieun. Kedua orangtuanya itu terdiam, mereka melihat wajah anaknya yang kini basah oleh air mata. Sangat merah, emosi, dan sedih.

Untuk pertama kalinya mereka melihat Jieun tidak tersenyum, untuk pertama kalinya juga mereka mendapat perlawanan darinya. Dan itu berhasil membuat kedua orang tuanya –Baik ayahnya mau’pun ibunya– kaget bukan main.

“Mengapa? MENGAPA KITA TIDAK BISA HIDUP LAYAKNYA ORANG ORANG NORMAL? Mengapa kalian tak pernah memerhatikan ku? Kalian hanya terus bekerja, bekerja dan bekerja! Jika kalian pulang, kalian hanya bertengkar dan menghancurkan semua isi rumah ini! Seharusnya aku tak usah lahir!”

“Ji-jieun” Sahut Sang Ibu, mencoba mendekati anak satu satunya itu. Tanganya berniat membelai kepala sang anak, namun secara kasar di tepis oleh Jieun.

“Jangan.. jangan sentuh aku!” Teriak Jieun histeris.

“Jieun, ma-maaf”

“A-aku.. Eugh! Aku benci kalian!”

BLAM!! Pintu rumah tersebut dibanting dengan kasar. Jieun sudah meninggalkan rumah itu, beserta dua orang nisan yang kini sibuk berkutat dengan pikiran mereka masing masing di dalamnya.

***

Jieun berlari dengan kencang, menerobos lautan manusia di kota Seoul tersebut. Hari entah sejak kapan sudah menjadi malam. Pandanganya buram, semuanya tertutup oleh bulir bulir air matanya yang tampak belum berhenti mengalir.

Ia membenci hidupnya. Ia membenci dirinya sendiri yang harus lahir di tengah tengah kebencian. Ia membenci semuanya, semua hal. Dari tetangganya yang sedang memiliki waktu menyenangkan disisi lain kedua orang tuanya sedang ribut, sampai kicauan burung burung pada sore hari ketika rumahnya malah sedang di iringi sebuah lagu yang berisi teriakan kata kata kasar dan pecahan vas bunga.

Seketika rintik rintik hujan mulai terdengar, lama kelamaan menjadi deras. Orang orang segera berlari kepanikan mencari tempat untuk berteduh. Sepertinya, langit mengerti kesedihan yang menimpa Jieun dan ikut menangis bersamanya.

Jieun tak perduli tubuhnya yang basah akibat hujan. Langkahnya gontai, airmatanya sudah menyatu dengan air hujan pada hari itu. Ia membiarkan dirinya duduk kehujanan di taman kota.

Jieun mendongkakan kepalanya, ia menutup matanya. Membiarkan seluruh rintik rintik hujan terjatuh di wajahnya yang pucat. “kau dimana?” katanya kecil.

Tiba tiba Jieun merasakan wajahnya tidak terkena tetesan air hujan. Ia perlahan membuka matanya dan melihat sebuah payung ada di atasnya. Jieun memperhatikan sekitarnya, dan melihat seorang pria tengah membawa payung.

“Hei, jika kau bermain hujan. Kau akan sakit” Ucapnya. Mata Jieun terbelakak. Kalimatnya.. sorot matanya.. Benar benar mirip, ah tidak! Bahkan sepertinya sama. Benarkah? Apakah ia orang yang sama seperti dulu?

“K-kau..”

“Lee Jieun, ternyata kau memang belum berubah ya? Sama cengengnya seperti dulu” Potong pria itu, memang kedengaranya sedikit menyindir. Pria itu duduk di samping Jieun, lalu ia mengacak rambut basah Jieun.

“Dasar.. mengapa kau selalu menangis?” Pria itu tersenyum sekilas. Jieun hanya bisa menanggapi perlakuan pria itu dengan cara terdiam.

“Hei, kau masih ragu untuk menceritakan masalahmu?”

“……”

“Baiklah jika kau tak mau menceritakanya, aku tak akan memaksamu” Pria itu kembali tersenyum, ia beranjak dari duduknya bermaksud untuk memberikan waktu untuk Jieun sendiri.

Jieun yang menangkap gerak gerik pria itu dengan cepat menahan tanganya, kemudian ia menatapnya dengan melas. “T-tunggu..” usaha Jieun berhasil membuat pria itu kembali ke posisi semulanya.

“Orang tuaku.. mereka bercerai” jelas Jieun. Pria itu mengangguk singkat, menandakan jika ia mengerti.

“Aku tak tahu, mengapa jika mereka tidak saling mencintai mereka harus menikah. Aku.. aku benar benar kesal! Seharusnya aku tak perlu lahir dan berada diantara masalah rumit ini” Jieun melampiskan seluruh kesedihanya, membiarkan dirinya menangis lagi. Tak perduli jika pria di sampingnya membujuknya untuk berhenti menangis dan tersenyum.

“Jieun, bukankah seharusnya kau harus bersyukur? Setidaknya, kau masih memiliki orang tua. Banyak sekali orang di dunia ini hidup sebagai yatim piatu. Meskipun aku tahu mereka tak pernah rukun, setidaknya mereka masih menyayangimu dan tetap bertanggung jawab dengan membiayai kehidupan sehari harimu”

“Apa? Kau bilang hidup seperti ini menyenangkan? Kau mengira aku senang hidup seperti ini? Aku ingin mati! Aku lebih baik tak berada di dunia ini” Jieun berdiri dari duduknya, ia berlari sekencang mungkin tak memerhatikan sekelilingnya. Pria tersebut menghela nafasnya keras lalu mengejar Jieun.

“Jieun, LEE JIEUN!” Seru pria itu. Jieun menghiraukan panggilanya dan terus berlari. Sampai sampai ia sudah berada di tengah jalan dan sebuah mobil melaju dengan cepat ke arahnya.

“AWAS!!”

BUK. CKIITT!!!

Orang orang berkerumunan, terlihat sang pengendara turun dari mobilnya dan bercekak pinggang. “Hei! Kalian! Ingin cari mati apa?”

“Maaf” Pria itu membungkuk sopan.

“Jika kau ingin mati, jangan disini! Melibatkan orang lain bodoh. Yasudah! Pergi sana!”

Orang orang pun berpencar bubar dari tempat itu. Sementara, Pria itu mengangkat tubuh Jieun yang tersungkur di lantai.

“Bodoh!” Pekik Jieun, ia memukul dada pria itu berkali kali. “Seharusnya kau membiarkan ku di tabrak!”

“Bodoh? Sebenarnya siapa disini yang bodoh hah? Kau pikir dengan mati semua masalah akan selesai? Di dunia ini banyak orang ingin hidup sehat! Mereka semua di landa penyakit, lihat lah dirimu! Kau begitu sehat, dan kau ingin menyia nyiakan hidupmu?” Bentak pria itu. Marah. Jieun untuk sekali lagi terdiam dan menundukan kepalanya. Memang kalimat kalimat pria itu tak sepenuhnya salah.

“Memangnya kau orang paling tidak beruntung di dunia? Ada 1000 bahkan lebih, anak anak sampai orang orang tua yang jauh lebih menderita darimu!” Pria itu mengacak rambutnya frustasi. Kemudian ia membalikan badanya.

“Hei..” panggil Jieun. Pria itu tak menyahut dan masih berjalan membelakangi Jieun, langkahnya terhenti mendapati ujung bajunya di tahan oleh Jieun.

“Kau.. besok kau akan ada bukan?”

“……” Pria itu tak menyahut, ia melanjutkan langkanya. Membiarkan pegangan Jieun terlepas dari kemeja putihnya.

“Maaf.. a-aku minta maaf” ucap Jieun kecil, setelah tubuh pria tersebut mengecil dan hilang dari pandanganya.

***

Sejak kejadian itu, Jieun masih menyempatkan dirinya untuk pergi ke taman kota. Ia selalu berharap pria asing itu akan datang lagi untuknya. Sayangnya, batang hidung pria itu nampak tak terlihat satu minggu ini.

Jam sudah menunjukan pukul 6 sore, pria itu tak kunjung datang. Jieun pun beranjak dari kursinya dan berniat untuk meninggalkan taman kota itu.

“Hei! Tunggu! Huft.. huft” Jieun membalikan tubuhnya, seorang pria terlihat sedang menunduk sambil bernafas tersengal sengal. Kelihatanya, ia habis berlari. Keringat pun bercucuran dari dahinya.

“Maaf aku telat” ujarnya.

“Kau? Memangnya kau siapa?” Tanya Jieun menyatukan alisnya heran. Pria ini bukan pria yang ia temui minggu lalu, atau dalam arti lain ia bukan bocah yang sama seperti dulu. Atau mungkin justru pria yang ia temui minggu lalu palsu dan hari ini yang asli?

“Kau Lee Jieun bukan? Perkenalkan, aku Yoo Youngjae” Sahutnya mengulurkan tangan. Jieun menatap pria itu aneh. Mendapati situasi menjadi canggung karena Jieun tak membalas jabatan tanganya, pria yang bernama Youngjae itu menurunkan tanganya.

“Eum.. jadi, sebenarnya aku ingin memberikan mu ini” Sahut Youngjae, menyodorkan sebuah amplop putih dari dalam saku celananya. “Ia menitipkanya, ia bilang aku harus memberikan surat ini kepada Lee Jieun yang biasanya menunggu di taman kota setiap sore. Untung aku tidak terlambat”

“Ia? Pria itu? Dimana dia?” Tanya Jieun, antusias. Youngjae terlihat sedikit panik, ia menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Err.. bisa kah kau mengikuti ku selagi membaca surat itu?” jawabnya.

“baiklah” Jawab Jieun sambil mengangguk tidak keberatan. Ia pun merobek ujung amplop tersebut sebelum menarik kertas yang telah dilipat secara rapih di dalamnya.

 

Untuk: Gadis cengeng yang tak pernah bersyukur, Lee Jieun.

       Hei! Jieun. Maaf, aku tak bisa datang sesuai permintaanmu pada hari itu. Oleh karena itu, aku memberimu surat ini sebagai gantinya. Hmm.. Oh iya, tenang saja! Youngjae temanku kok, ia bukan anak sembarangan yang berbahaya. Aku sudah memintanya untuk menjadi temanmu. Hehehe..

       Jieun kau tahu? Aku sebenarnya iri dengan hidup mu. Aku tahu mungkin kedua orang tuamu selalu bertengkar. Sedangkan aku? Aku hanya seorang yatim piatu!

       Mungkin aku tak mengerti rasanya menjadi kau yang berada di tengah tengah masalah keluarga, karena aku memang tak bekerluarga. Dan mungkin saja aku tak pernah merasakan kasih sayang dari orang tua kepada anak anaknya.

       Dan kau tahu? Kau begitu sehat. Lihat lah! Bahkan setelah percobaan bunuh dirimu gagal dan malah kau terjatuh di aspal, kau masih bisa memukul ku secara kasar. Hahaha, kau tahu? Itu sakit.

       Tapi sakit itu tak separah penyakit kanker otak yang sudah menyatu dengan baik di otakku sejak beberapa tahun yang lalu. Kau tahu? Jika rasa sakit itu datang, rasanya seperti kau berteriak di telingaku menggunakan microphone! Maaf, aku bercanda. Tentu saja lebih sakit.

       Hei! Jangan mengasihaniku, aku bahagia kok dengan hidup ku. Aku tahu banyak orang jauh lebih menderita dariku dan darimu. Oleh karena itu, aku ingin kau hidup dengan bahagia!

Oh iya, mulai sekarang jangan lah kau menghabiskan waktumu di taman kota untuk menungguku! Karena aku sudah tak berada di dunia ini lagi. Ah iya, aku hampir lupa kalau aku belum memberitahu namaku bukan? Kau akan tahu di akhir dari surat ini. :p

Jung Daehyun 

 

P.s: Kau tahu kan kalau kau jelek jika menangis? Aku sudah memberikan Youngjae sedikit uang untuknya agar dapat menemanimu membeli tisu. Jangan menangis lagi oke? Aku tak punya uang untuk membelikan mu tisu setiap hari!

 

Kejadian kejadian itu kembali berputar di otak Jieun, bagaikan gulungan film yang sudah tua dan usang.

“Jieun, bukankah seharusnya kau harus bersyukur? Setidaknya, kau masih memiliki orang tua. Banyak sekali orang di dunia ini hidup sebagai yatim piatu.”

“Di dunia ini banyak orang ingin hidup sehat! Mereka semua di landa penyakit, lihat lah dirimu! Kau begitu sehat, dan kau ingin menyianyiakan hidupmu?”

“Ada 1000 bahkan lebih, anak anak sampai orang orang tua yang jauh lebih menderita darimu!”

Semuanya kini menjadi jelas. Kepingan kepingan puzzle tersebut sudah tersusun.

Air mata Jieun seolah tak dapat di bendung lagi. Semuanya turun begitu saja, berhasil meruntuhkan tanggulnya. Youngjae pun berjongkok, menjejerkan tingginya dengan Jieun yang tengah berlutut di sebuah makam yang penuh dengan bunga bunga yang warna warni.

“Hei.. kau tak membacanya? Ia tak ingin kau menangis” Bisik Youngjae pelan, namun cukup untuk di dengar oleh mereka.

Jieun memaksakan dirinya untuk tersenyum, ia mengelus batu nisan di pemakaman tersebut. “Aku tak mengenalmu”

“Ayo kita jalan” ajak Youngjae, ia mengulurkan tanganya berniat membantu Jieun berdiri.

“Ya itu dulu, tapi sekarang aku sudah mengenalmu” Jieun menyambut uluran tangan Youngjae lalu berdiri dari posisinya, menyeka seluruh air matanya dan tersenyum.

“Terima kasih untuk semuanya.. Jung Daehyun”

Semilir angin berhembus, memainkan anak anak rambut Jieun pada hari itu. Seolah olah mencoba berkata “Sama sama..”

End

Hai hai.. Ini FF pertamaku disini…
Mungkin penulisan ku gak gitu gitu bagus dan kalimatnya gak dalam dalam amat.. Hehehe..

Tapi semoga memuaskan ya ^^

Don’t Be Siders so.. Leave comments? yang panjang, pendek, ceramah tentang kesalahan juga boleh! Biar bisa belajar 🙂 Makasih!

14 thoughts on “Hi! Stranger”

Leave your comments, B.A.B.Y ~