Reinkarnasi 3

CreditPosterbyArinYessy@PosterChannel
CreditPosterbyArinYessy@PosterChannel

By.Alana

Bang Yongguk and Park Jiyeon

Romance || Comfort

.

Aku semakin dalam memeluk tubuhnya. Perasaan hangat menyerbu relung hatiku. Jiyeon. Aku merasakan gelisahmu. Getar kepedihanmu menyapaku. Aku bisa membuatmu melupakan semua itu. Melewati rasa ngeri yang dia ciptakan. Mungkin ketidak sengajaan yang tidak menguntungkan. Himchan. Dia sungguh tidak bisa dijelaskan.

Wajahnya seperti pualam yang menyimpan banyak corak. Halus, dan nyata, namun samar dalam kasat mata. Mengerikan, Dia mungkin iblis yang menjelma menjadi manusia.

“Jiyeon !” panggilku. Lirih. Di daun telinganya. Dia beringsut, memindahkan diri sedikit menjauh.

“Yongguk, setiap kau berbisik padaku, aku menjadi gugub.”

“Apakah aku membangunkan tidurmu ?”

“Aku belum tidur. Aku sedikit nervous”

“Apakah pelukanku bisa membuatmu nyaman ?”

“Hm, ya.” jawabnya.

Aku tersenyum. Tentu saja aku bahagia. Toh, semua itu hal yang indah. Memeluk tubuhnya yang terasa hampa dalam rengkuhanku. Dia merasakanku, namun aku merasa seperti aku mengambang. Tanganku tak mampu meraihnya, namun dia  merasakan sentuhanku. Ini sulit kujelaskan. Aku ingin menyatu dengannya. Merasuki tubuhnya. Aku ingin berada di dalamnya. Mungkin mencumbunya.

“Yongguk. Kenapa aku terus memikirkannya ?” tanya Jiyeonku.

“Siapa ?”

“Himchan.”

“Aku tidak tahu. ” dan aku merasa cemburu. Dia memikirkan psikopat itu.

“Apa yang membuatnya istimewa ?”

“Dia tampan.”

“Da pembunuh.”  ujarku dingin

“Sepertinya aku begitu ingin dekat dengannya, aku ingin berada di sisinya.”

“Apa kau sudah gila ? Dia akan membunuhmu.”

“Bagaimana jika dia bersikap baik padaku ?”

“Apa kau mulai gila ?”

“Yongguk, sebagian diriku sepertinya masih mencintainya.”

“Aku tidak ingin mendengarnya.”

“Apa kau cemburu ?”

“Ya. Sangat. Tidak hanya cemburu. Tapi aku sungguh ingin membunuhnya juga. Dia orang yang berbahaya. Kenapa kau memikirkannya seolah-olah dia itu kekasihmu.”

“Aku tidak mengingat apapun.  aku tidak mengingat kenangan burukku tentang dirinya. Yang kuingat dia mencintaiku.”

” Apakah aku harus mengucapkan selamat padamu untuk kembalinya ingatan indahmu tentang dirinya.” jawabku.

“Namun aku mengingatnya.Himchan. Dia ada dalam ingatanku. Dia mencintaiku.”

“Dia bagian dari kenanganmu. Tentu saja dia ada dalam ingatanmu.”

Dan aku bukan bagian dari kenangannya. Aku hanyalah kepingan halusinasi dari seonggok sejarah dari hidupnya.

“Yongguk, jangan pergi !”  ujarnya. Namun aku sedang resah. Sejak tadi dia membicarakan tentang Himchan. Aku begitu cemburu. Kutinggalkan dia sendiri di pembaringan. Dia terus memanggilku.

Tok Tok Tok…

aku menoleh pada pintu. Bayangan Polisi Moon beridiri di sana. Jiyeonku berjalan membukakan pintunya.

“Polisi Moon !” Sapanya bingung. Laki-laki itu menatap Jiyeonku dengan tatapan yang masih sama. Namun kali ini dia sepertinya begitu penuh dengan pertanyaan.

“Siapa yang kau panggil ?” Tanyanya.

“Siapa ? mungkin aku bermimpi.” jawaban Jiyeonku membuatnya tersenyum.

“Kau sudah tidur, maafkan aku mengganggumu.”

“Tidak apa-apa ?”  jawabnya.

Polisi Moon berbalik. Dia berlalu menjauh dengan langkah ragu. Jiyeonku menutup pintu. Untuk sejenak aku melayang meninggalkannya. Dia terlihat sepi, terbaring di ranjang itu dengan wajah hampa.

Aku melihat Polisi Moon berjalan keluar, menuju halaman. Di tangannya menggenggam senjata. Aku melihatnya curiga, dan raut mukany melebihi sebuah tekanan. Dia sedang jeli memperhatikan ke sekelilingnya.

Apakah Himchan?

Kuedarkan pandanganku ke seluruh area lahan di sekitar halaman. Hingga pada peredu di tepi danau, pepohonan dan tembok pagar di sisi kanan.

Himchan.

Langkahku melesat pada semak-semak di dekat danau. Tiba-tiba wajah itu membayang diantara bayangan lampu-lampu yang terpantul dari permukaan danau. Kemilaunya terihat seperti permata. Dan wajah Himchan seperti sebuah lukisan kegelapan di temaram malam.

Polisi Moon semakin mendekat.

“Jangan mendekat ! ” teriakku. Namun dia tak mendengarnya.

“Siapa di situ ?”  hardik polisi itu. Namun dia tidak menjumpai siapapun yang muncul ataupun bergerak di sana.

Langkah Polisi Moon kian hati-hati. Dia menginjak sebagian ranting-ranting kering di jalan yang dilintasinya. Suara gemerisiknya membuat suasana ngeri di hatinya. Dia kalah secara mental. Namun dia tetap berjalan.

Lau tiba-tiba sebuah kayu menghantam kepalanya. Dia ambruk. Dan aku melihat sosok itu berdiri dengan air muka seperti seorang tanpa dosa. Dia menendang-nendang tubuh Polisi Moon yang tertelungkup di tanah, tanpa bergerak. Matanya terpejam, dan darah mengalir dari kepalanya.

“JOngup !”  panggilku. Dan aku melihat Himchan berjalan mendekati rumah itu.

Aku berusaha menariknya, menendangnya dari belakang, bahkan memukulnya, namun aku hanya bertemu dengan ruang hampa. Dia terus berjalan. Langkahnya begitu ringan tanpa beban. Ku toleh Polisi Moon yang tak berdaya. Dia mati atau pingsan aku tak tahu.

Aku segera berjalan menemui Jiyeonku yang terlelap. Berusaha membangunkannya, namun sepertinya dia tertidur pulas sekali. Oh Tuhan, dia meminum obat tidur itu. Aku semakin panik. Lalu aku mendengar langkah di lantai kayu itu. Di depan pintu kamar yang tertutup rapat. ApakahJiyeonku mengunci pintunya ?

Brakhh…

Tidak. Dia sama sekali tak mengunci pintunya. Ketegangan menghampiriku. Aku tak sanggub menahan langkahnya. Dia, Himchan semakin mendekati Jiyeonku yang sedang tertidur dengan wajah polosnya.

“Jiyeon!” teriakku.

Himchan menyentuh rambutnya. Dia menelusuri wajah Jiyeon dengan lembut. Memberi kecupan yang manis di keningnya. Dia sungguh munafik!

JIyeonku masih terpejam. Dan Himchan mengambil tempat di sisinya. Memeluknya, dan terus menciumi punggung Jiyeonku. Aku tak bisa melakukan apa-apa. Aku seperti ingin menumpahkan seluruh emosiku padanya, namun tak bisa.

“Jiyeon !” teriakku. Aku berharap dia mendengarku.

Matanya terbuka. Dia mendengarku.

“Jiyeon mau bangun ? Lihatlah dia sudah di sini, Himchan. Dia sedang memelukmu. Cepat pergi dari sini !”

Jiyeonku masih berusaha untuk menyadarkan dirinya. Matanya berkedip-kedip. Dia menemukan tangan Himchan yang melingkar di pinggangnya. Dia menoleh.

“Himchan ssi!”  teriaknya. Wajahnya mendadak pucat.

“Hi Honey !” sapanya lembut.

“Honey ?”

Terlambat. Dia belum tentu bisa terlepas darinya. Himchan dia semakin menebarkan pesonanya.

“You missed me ?”  ucapannya begitu lembut. Sementara Jiyeonku masih terkesima. Bagaimana mungkin Himchan  berada di dekatnya. Sejenak dia menikmati sentuhan itu. Jemari Himchan masih menelusuri wajahnya, dengan senyum yang semakin membius.

“Oppa !”  bisik Jiyeon kemudian. Entah nyata atau tidak aku melihat Jiyeonku memeluk Himchan dengan hangat.

“JIyeon !” aku hampir meledak melihat hal itu.

Namun dia tak mendengarku, atau pura-pura tidak mendengarku.

“Aku tahu kau sangat merindukanku.”

Himchan mengangkat wajah Jiyeon dan mengarahkannya padanya. Tatapan mereka bertemu, membuahkan sebuah ikatan yang rancu. Jiyeonku terlihat hanyut. Dia tenggelam dalam pesona Himchan. Dia menerima semua itu. Kecupan itu, bahkan ciuman yang semakin membuat Jiyeonku pasrah dalam rengkuhannya.

“Jiyeon !” hatiku hancur. Apa yang dilakukannya ? kenapa dia begitu rela diperlakukan Himchan seperti itu.

“Oppa, kenapa kau pergi begitu lama ? ” tanya Jiyeonku. What ? apa aku tidak salah dengar ?

“Maafkan aku !”  ucap Himchan. Dia tersenyum.

” Oppa !”  Jiyeonku menenggelamkan dirinya lagi di tubuh Himchan. Dia semakin erat memeluk tubuh psikopat itu. Apa yang sebenarnya terjadi ?

“Jiyeon !” panggilku lagi.

Tapi sepertinya dia tidak mau mendengarku. Mungkin dalam ingatannya yang telah dia temukan, sosok Himchan masih dalam bentuk mahluk terkasihnya. Dia masih mengingat Himchan sebagai orang yang mencintainya. Sebagian memory yang mungkin tidak terhapus.

Mereka melepaskan kerinduan itu. Dan aku mencabik-cabik hatiku di sudut sepi. Bagaimana mungkin Jiyeonku becumbu denganya. Kanibal.

Kututup wajahku. Tidak sanggub melihat semua itu. Melihat tangan itu yang merangkul manja tubuh pucat itu. Aku tidak sanggub mendengar semua desahnya. Ini terlalu mengerikan untukku. Bahkan untuk sepotong hantu sepertiku terlalu ngeri melihat hal itu !

Jiyeonku terkulai lemah di sisinya. Dia masih memeluk Himchan dengan sisa nafasnya yang terhempas diantara belai lembut laki-laki itu.

Kugigit bibirku dalam-dalam. Aku sungguh tidak bisa berbuat apa-apa. Seandainya aku bisa menangis. Oh Tuhan!  aku melihat Jiyeonku berada dalam pelukan Daehyun dan kini dalam kuasa Himchan. Apa yang harus kulakukan.

Beberapa waktu lamanya mereka berbicara. Aku menutup kupingku. Tidak ingin mengetahui apa yang mereka bicarakan. Kutinggalkan dia dalam dekapan psikopat itu.

Kutemui Polisi Moon yang masih tergeletak diatas tanah. Dia masih belum bergerak. Apakah dia mati. Nafasnya terangkat lemah. Dia masih bernafas meski tertatih tatih. Aku mencoba untuk membangunkannya. Berkali-kali menyentuh pungungnya yang terasa beku. Apakah dia sanggub menolongnya.

“Jongup ! Bangunlah! Aku tidak jadi membencimu. Tolonglah Jiyeonku. Dia mungkin tidak bisa melalui malam ini. Tolonglah dia !”   Rengekku.

Aku terduduk di sisinya dengan perasaan hancur. Aku tidak ingin melihat Jiyeonku mati. Aku ingin menyelamatkannya sehingga aku bisa bereinkarnasi .

“Jongup, bangunlah! Aku tidak akan membencimu jika kau benar-benar mencintainya. akan kurelakan Jiyeonku untukmu, asal tidak untuk laki-laki-laki itu.JONGUP!” teriakku kencang.

Perlahan Polisi Moon membuka Matanya. Aku beranjak lega. Dia berusaha keras untuk bangun. Tubuhnya terasa berat. Dia benar-benar merasakan sakit dikepalanya.

“Apa yang telah terjadi ?”  tanyanya lirih. Dia memperhatikan permukaan air kolam yang berkilauan. Lalu menoleh ke arah rumah yang sepi. Di sana lampu telah padam.

“Cepatlah ! “

“Kenapa dengan diriku ? Kenapa aku bisa tertidur di sini? “Polisi Moon meraba kepalanya.

“Aigoo, darah !”  jeritnya. Dan kesadarannya pulih.

“Jiyeon !” pekiknya. Lalu dengan cepat dia melesat meninggalkan tempatnya duduk.

“Jongup ! senjatamu tertinggal!”  panggilku. Namun dia tidak mendengar. Dia terus berlari, namun ketika dia mendekati rumah itu, langkahnya terhenti. Diambilnya ponsel dari dalam jaketnya.   Diketiknya sebuah pesan. Semoga pesan itu untuk memanggil bantuan.

“Cepatlah Jongup!”

Aku mendahuluinya memasuki rumah yang terlihat lengang. Mataku mencari bentuk pembunuh itu ke setiap sudut yng gelap, namun dia tidak terlihat. Jiyeonku telah terlelap. Dia sama sekali tidak menyadari dirinya sedang dalam bahaya. Di mana dia?

Aku melangkah menuju ruangan demi ruangan, mencoba untuk mengetahui apa yang akan dia lakukan pada Jiyeonku.

“JOngup, cepatlah kau masuk! ” panggilku. dan aku melihat Himchan sedang berada di dapur. Dia setengah telanjang. Apa yang dilakukannya ?

Perlahan aku mendekatinya. Dia memegang sebuah kunci pembuka pipa. Terlihat serius dengan pipa gas yang dia pegang dengan tangan kirinya. Oh Tuhan, apakah dia berniat untuk membuka pipa gas itu dan membuat Jiyeonku mati lemas.

“Jiyeon !”  aku segera berlari meninggalkan Himchan. Sekuat tenaga menuju pada Jiyeonku yang terlelap. Kenapa langkahku seperti lemah. Kenapa jarak kamar itu kini terasa jauh.

“Jongup! ” aku menoleh pada pintu ketika melewatinya. Dia masih berdiri di depan sana tanpa tahu apa-apa. Kenapa dia tidak segera masuk. Apa yang ditunggunya.

“Jiyeon !”  aku semakin dekat.

Lalu aku menoleh, melihat pada Himchan yang berjalan mendekat ke arahku. Dia bwhitu cepat. Dan kenapa aku begitu lambat. Dia menerjang tubuhku. Dia melewatiku seperti angin yang menghempaskan daun-daun. Aku berserakan. Tubuhku seperti terpisah-pisah.

Mataku menatap nanar pada langkahnya yang semakin mendekati Jiyeonku. Dia menggendongnya, membopongnya keluar dari kamar.

“Himchan ! akan kau apakan Jiyeonku ?” teriakku. Namun sekali lagi tubuhnya menghempasku. Aku semakin rapuh.

Aku berlari ke arah Polisi Moon. Satu-satunya orang yang bisa menolongku. Dia terlihat pucat. Tubuhnya gemetar. Kudekati tubuhnya.

“Jongup ! ”  bisikku. Namun dia sama sekali tak mendengar. Dia hanya berdiri di dekat pilar, sementara matanya sibuk menoleh ke arah jalan utama. Dia masih menunggu bantuan. Akan sangat terlambat.

Kudekati raganya, dan kucoba untuk menyisipkan jiwaku diantara jiwanya. Terasa sangat berat. Hampir sama ketika aku mendorong lemari besar dari sudut rumah ke tengah ruangan. Dia seperti menolak.

“Ayolah! bekerjasamalah !” hardikku dengan sekuat tenaga. Tenagaku hampir ludes sirna, namun aku masih mempunyai semangat untuk tetap menyelamatkan Jiyeon. Tubuh Polisi Moon begitu berat. Aku hampir tidak bisa menggerakkannya.

“Kau siapa ?”  tanya Polisi Moon.

“Aku Yongguk. Aku ingin menyelamatkan Jiyeon. Cepatlah! psikopat itu sudah melepaskan pipa gas. Dia ingin membuat Jiyeonku mati lemas !”  aku bicara dengan panik.

“Kenapa kau mengenal Jiyeon ?”

“Akan kujelaskan setelah kita menyelamatkannya.”

“Tapi bagaimana ? Di mana posisinya ?”

“Himchan membawa Jiyeon ke dapur. Di sana mereka akan mati bersama.”

“Apa kau yakin kita bisa menyelamatkannya ?”

“Aku harap.”

“Bagaimana kita masuk? pintunya di kunci.”

“Kita masuk lewat gudang.”  jawabku.

“Gudang ?”

“Ya. Gudang bawah tanah. “

Aku membawa Polisi Moon melangkah melewati halaman samping dan masuk melalui pintu yang terkunci dari luar. Aku mematahkannya dengan sebuah tongkat besi yang tergeletak di sana.

“Kenapa kau bisa tahu tempat ini ?” tanya Polisi Moon.

“Aku tinggal di sini.”

Lalu aku memasuki ruang gelap gulita. Benar-benar gelap. Namun aku masih ingat di mana saklar lampunya.

“Tidak usah dinyalakan!” cegah Polisi Moon . Dan aku berpikir, dia benar.

“Kemana lagi arah kita ?”  tanyanya sambil meraba -raba .

“Ke arah utara. Di sana ada tangga menuju tempat penyimpanan bahan-bahan makanan. “

Rumah ini tadinya adalah sebuah rumah periatirahatan di jaman Jepang. Sehingga arsitekturnya di design dengan sangat teliti. Di rumah ini terdapat tempat penyimpanan bahan-bahan makanan mentah seperti gandum dan beras. Juga beberapa bumbu-bumbu dan obat-obatan. Ruangannya sangat pengap. Namun tadinya begitu sejuk karena ventilasi udaranya selalu terbuka. Sekarang semua akses udara sudah dibuntukan. Membuat ruangan terasa panas dan sesak.

Aku menaiki tangga dengan hati-hati. Di sana, di atas sana terlihat cahaya diantara celah-celah pintu kayu yang termakan usia. Dia berbicara begitu banyak cerita tentang beberapa manusia yang dulu pernah melewatinya. Termasuk diriku.

“Dia tidak terlihat.” Ujar Polisi Moon ketika dia mengintip ke dalam melalui celah-celah pintu itu.

“Kita buka pelan-pelan. Hati-hati! apakah kau menyalakan hapemu ? “

“Sebaiknya aku tidak aktifkan dulu. ”  Polisi Moon mengerti. Gelombang elektromagnetiknya akan memantik percikan api di dalam ruangan yang sedang dalam kondisi bertekanan gas yang tinggi, dan akan meledakkan seisi rumah jika hal itu terjadi.

Aku mendengar Himchan bersenandung. Dia mulai terlihat aslinya. Jiyeonku. Ku harap kau masih bisa bertahan.

“Kita masuk !”

Pelan-pelan aku mendorong pintu itu. Sedikit demi sedikit kulihat kondisi di dalam. Bau gas yang pekat membuatku sesak. Kututup hidungku dengan kain. Lalu berjingkat-jingkat menuju ke arah di mana Jiyeonku terbaring.

Dia di sana , di lantai, di depan counter dapur. Dia tergeletak bersama Himchan yang memeluknya. Laki-laki itu memeluknya dengan wajah yang pucat. Dia sudah menghirup gas cukup banyak. Dan aku melihat Jiyeonku masih terpejam. Dia tidak akan pernah sadar seandainya dia mati.

Aku melemparkan sebuah pisau ke ujung ruangan agak jauh darinya. Dia terkejut. Himchan memperhatikan pisau yang kulempar. Lalu dia melihat ke sekelilingnya. Dia mulai curiga. Matanya yang begitu tajam meneliti satu-persatu sudut yang terlihat samar. Sambil terbatuk-batuk dia berdiri. Langkahnya tertatih. Dia terlihat begitu payah. Tenaganya sudah habis. Dia mulai lemas. Seharusnya mudah untuk melumpuhkan laki-laki itu.

“Kita bawa Jiyeon keluar dulu sebelum menghabisinya !”  bisikku. Polisi Moon mengangguk. Jiyeon adalah prioritas utama.

Himchan berjalan menjauhi Jiyeon, namun matanya masih dengan awas memperhatikan Jiyeon.

“Ayo !”  aku segera bergerak, dan mengambil Jiyeon. Dengan cepat aku menyeret kakinya. Ini pertama kalinya aku bisa menjamah tubuhnya. Entah kenapa aku merasa terharu ditengah suasana tegang ini.

Jiyeon aku gendong di dengan kekuatan berganda. Dia sudah sangat lemas. Wajahnya begitu pucat, sementara di hidungnya sudah mengeluarkan darah. Dia sudah begitu keracunan.

“Cepat !”  ujarku.

“Hei ! Siapa itu ! Kembalikan Jiyeonku !”  teriak Himchan. Dia dengan langkah tertatih mengejarku.

“Dia Jiyeonku !”  balasku keras. Aku menuju pintu menuju gudang bawah tanah kembali dan menuruni tangga dengan cepat.

Aku berlari keluar dari bangunan dan secepat mungkin meletakkan Jiyeonku pada tempat yang aman dan tersembunti. Aku kembali dan mengambil linggis yang tadi aku pakai untuk membuka kunci gudang.

Himchan terlihat sedang meraba-raba di kegelapan. Dia tidak mengenal tempat i i sebaik diriku.

“Himchan!” panggilku. Dan ketika dia menoleh aku langsung memukul tubuhnya dengan linggis. Mungkin dia tidak akan mengira bahwa perjuangannya untuk mati bersama Jiyeonku akan terganggu. Tubuhnya tersungkur di atas tanah. Dia sudah tidak bertenaga lagi ketika keluar dari rumah itu. Hal yang sangat menguntungkan.

“Lalu bagaimana ?”  tanya Polisi Moon.

“Kita lihat dulu kondisi Jiyeon. “

Jiyeon terkulai lemas di atas rerumputan. Matanya terpejam begitu rapat. Bibirnya membiru dan darah masih mengalir dari rongga hidungnya.

“Panggil ambulance!”

Polisi Moon segera mengeluarkan hapenya lagi. Dia menelepon nantuan. Namun baru aepuiluh kata dia bicara sebuah sirene polisi memasuki halaman. Kenapa negitu ramai. Betapa bodohnya polisi-polisi itu. Bagaimana mungkin menghadapi situasi genting ini dengan berparade seperti itu. Apa mereka tidak mempunyai tenaga sniper? Brengsek ! untung saja Jiyeonku sudah terbebas dari tangan psikopat itu. Bagaimana jika dia masih di dalam, dan parade itu menarik perhayian Himchan. Bodoh !

Aku terus menggerutu.

“Keluarlah dari tubuhku !” perintah Polisi Moon.

“Aku belum mau. Aku masih ingin menyentuh Jiyeonku. Dia adalah istriku di masa lalu.”

“Dia jarus segera di tolong.”

Aku menggendongnya dan membawanya menuju ambulance yang baru saja tiba. Dia datang bersama irinh-iringam polisi tadi.

Beberapa petugas kesehatan menyambutnya dengan sigap. Dia direbahkan di dalam mobil putih itu. Aku ikut naik bersamanya, namun Komandan Daehun menarik tanganku.

“Jongup !” panggilnya.

Namun aku bersikeras untuk ikut naik ke dalam mobil bersama Jiyeon.

“Komandan, nanti saja Kita bicara. Aku akan menemani Nona Jiyeon.

Mobil ambulance berjalan menjauh dari rumah itu. Di dalam sini aku memperhatikan petugas medis sedang memberikan infus dan oksigen. Aku merasakan gugub yang luar biasa. Jiyeonku, semoga kau bisa selamat.

tbc.

a/n

Aish, di saat-saat menegangkan malah tbc! gapapa ya…

Hehe..Bukan karena aq cinta banget sama Himchan ya, Jiyeonnya aku bikin mesra sama cowok gantengku tersayang itu, tapi emang skenarionya harus begitu.

Next akan sangat mengejutkan dengan endingnya. Wkwkwk…

Semoga Jiyeon dapat tertolong ! Next will be the last.

Love–love—love buat yang setia ngikutin Bang bang Tut sampe chapter ini!

oke see u…

Peace alana

22 thoughts on “Reinkarnasi 3”

  1. heol!! ternyata aku blm baca ff ini sampe tuntas :3
    hadah.. pusing >< banyak sekali yg menjudge jiyeon sebagai miliknya. jiyeonku! jiyeonku! jiyeonku! Cekaka~ kalau lana begitu cinta pada himchan kata jiyeonku pasti telah berganti dg alanaku! alanaku!
    kok ya tubuh yongguk bs masuk dlm keadaan jongup sadar. 2 jiwa dlm satu raga! itu awal aku jd sdkt bingung krn jongup msh bs bercakap2 dg yongguk!

    Like

    1. Jiaaah, maksudnya di masa lalu tuh Jiyeon adalah istrinya Yongguk.Tapi Jiyeon tidak menyadarinya.
      Begono. Dia sudah dilahirkan kembali menjadi sosok yg beda.’dengan kehidupan yg beda juga.

      Like

    1. Aku jawabnya satu aja. Kamu komentarnya mpe tiga gitu!

      Dia reinkarnasinya nanti, kalo Jiyeon selamat.
      Pokoknya endingnya mengejutkan!

      Like

  2. himcan mau mati kok ngajak2 jiyeon.part in bikin tegang apalagi perjuangan yongguk tuk nuelamatin jiyeon sampe ngerasukin tubuh jongup semoga aja endingnya gk ngecewain

    Liked by 1 person

Leave your comments, B.A.B.Y ~