[Let’s Create Our Kingdom] Open Your Eyes – ONESHOOT

1483783811393

Nama author     : Rice’s Friedtofu

Genre                   : Romance; Angst; Drama

Length                  : ONESHOT; 2000 words

Rating                   : PG-15

Cast                       : Anonim; Jung Daehyun (B.A.P); Yoo Youngjae (B.A.P); Shin Ahri (OC)

Disclaimer          : B.A.P’s members are belongs to GOD, themselves, their family, TSEnt., and last but no least their fans as well

Summary             : Kau selalu menyelipkan keinginan di tiap senandung harapanmu. Kau selalu membayangkan bagaimana dunia sebenarnya terlihat. Apa itu putih, apa itu merah, apa itu biru, apa itu kuning, bagaimana rupa Ibu Panti dan anak-anak yang selalu bersamamu. Orang-orang bilang, dunia penuh akan warna dan rupa—kau selalu membayangkannya dalam nalar, duniamu selama ini adalah hitam, hanya hitam, dan entah sampai kapan akan hitam. Anak-anak di panti juga selalu memanggil Daehyun dengan panggilan ‘Oppa tampan’—kau juga ingin tahu rupa Daehyun. Banyak yang ingin kau ketahui tentang dunia—terlalu banyak hingga kau sendiri tak tahu harus berbuat apa.

 

Kau meraba-raba jalanmu dengan tongkat, tersenyum sumringah mendengar Jung Daehyun datang ke panti. Sejak belum bisa berjalan, kau sudah tinggal di panti ini—sudah hafal betul sekat-sekat antar ruangan dan lorong menuju tiap daerah. Tak bisa melihat tak menjadi beban bagimu pun bagi anak-anak yang dirawat di panti ini, mereka sangat ramah dan senang sekali bermain denganmu.

“Hei!”

Tanganmu digenggam. Suara yang begitu familiar di telingamu kembali menyapa dan kau luar biasa bahagia. “Daehyun-, kabar baik! Ahri sudah mau berbicara—walau hanya denganku, tapi lama-kelamaan pasti bisa dengan yang lain juga.”

Kau tak bisa melihat sejak usia yang sangat dini—ketika kau bahkan belum mampu mengingat warna dan bentuk. Kau mengalami kecelakaan, penglihatan dan keluargamu tak ada yang selamat. Mereka bilang, kepalamu terbentur kuat sekali dan matamu kehilangan cahayanya. Sejak saat itu, kau tinggal di panti, walau sekarang lebih terlihat seperti kau yang menjaga anak-anak panti.

Lalu, beberapa tahun belakangan Daehyun mulai menjadi donatur di panti ini. Pemuda yang seumuran denganmu itu rutin mengunjungi panti untuk bercengkerama dengan anak-anak atau sekadar mengantarkan dus berisi penuh mainan dan baju baru.

Kalian berakhir duduk di bangku belakang panti. Kau merasakan degup jantungmu dengan telapak tangan. Degupannya kencang sekali seolah berlarian salah tingkah sebab Daehyun ada di sampingmu.

Daehyun terkekeh, meraih tanganmu lalu meletakkannya di depan dada pemuda itu. “Degupannya sekencang ini, tidak?” Kau menelan liurmu gugup, mengangguk dua kali dan menarik tanganmu dari sana. Namun gerakan Daehyun lebih cepat untuk kembali menggenggam tanganmu dan menuntunmu untuk meraba tiap detil wajahnya dari pelipis, hidung, pipi, bibir, hingga rahang. “Ingat setiap detil wajahku, suatu saat nanti ketika matamu menemukan cahaya … jangan sampai keliru mengenaliku, ya?”

***

Awal tahun, turun salju seperti biasanya. Daehyun datang dengan puluhan baju hangat dan makanan ringan. Kau duduk di antara anak-anak yang dengan antusias mendengar Daehyun bernyanyi karena suara Daehyun sangat merdu—hangat dan menenangkan.

Acaranya selesai dan Daehyun mengajakmu bertemu dengan Ahri, gadis kecil yang tiga bulan lalu ditemukan menangis sendirian di gang sempit yang gelap. Tanganmu digenggam Daehyun dan jantungmu serasa menggila. Mungkin—hanya kemungkinan … kau menyukai Daehyun.

“Ahri-ya, apa kabar?” Daehyun mengeluarkan permen cokelat dari sakunya. “Tadi kamu tidak dapat permennya karena langsung kembali ke kamar, kan?”

Kau tak melihat apa pun, namun tiap percakapan searah dari Daehyun yang tak mendapat respons dari Ahri dengan jelas dapat kaudengar. Daehyun penyabar sekali, walau Ahri tak menjawab, pemuda itu berulang kali mengubah topik pembicaraan hingga akhirnya sebuah frasa meluncur dari bibir Ahri.

“Sayang Oppa.”

Kau tersenyum, Ahri akhirnya bicara lagi—suaranya jernih dan manis sekali. Sejurus kemudian, Daehyun menarikmu ke tempat lain. Duduk di bangku panjang yang biasa anak-anak gunakan ketika mendengar cerita sore.

Daehyun merapikan rambut panjangmu, menyisirnya dengan jemarinya. Kau tersentak kaget pada perlakuan Daehyun. “Kudengar dari Ibu Panti jika ini adalah hari ulang tahunmu. Aku punya hadiah spesial untukmu, tapi aku tak bisa memberikannya langsung—jika hadiahnya sudah kauterima, kuharap kau akan sangat menyukainya hingga tak bisa melupakanku walau aku tak akan hadir lagi di duniamu yang penuh cahaya.”

Kau tertawa bahagia. “Mau segelap apa pun duniaku, aku akan terus mengingatmu. Hei—jangan klise seperti ini, canggung sekali rasanya. Aku—“

“Aku menyukaimu.”

Wajahmu terasa sangat panas, bicaramu mendadak terbata. Tawa mengudara walau kau merasa mendadak semakin canggung. “Jangan membuatku mati tertawa, Daehyun-a.” Kau mengusap sudut matamu yang berair. Menggenggam tangan Daehyun yang sejak tadi tak melepaskan tangannya darimu. “A-aku sadar diri, kok.”

Daehyun meneteskan air matanya dalam diam, tak ingin kautahu. “Aku juga hanya mengungkapnya—tidak memaksamu untuk balik menyukaiku.” Pemuda itu mengecup punggung tanganmu dengan kelewat lembut, seolah takut kau pecah dalam kungkungannya.

***

Kau selalu membayangkan bagaimana dunia sebenarnya terlihat. Apa itu putih, apa itu merah, apa itu biru, apa itu kuning, bagaimana rupa Ibu Panti dan anak-anak yang selalu bersamamu. Orang-orang bilang, dunia penuh akan warna dan rupa—kau selalu membayangkannya dalam nalar, duniamu selama ini adalah hitam, hanya hitam, dan entah sampai kapan akan hitam.

Anak-anak di panti juga selalu memanggil Daehyun dengan panggilan ‘Oppa tampan’—kau juga ingin tahu rupa Daehyun. Banyak yang ingin kau ketahui tentang dunia—terlalu banyak hingga kau sendiri tak tahu harus berbuat apa. Beberapa hari ke belakang, kautemukan buku dengan aksara braille di antara buku-buku usang  yang tertata di rak paling pojok.

Kau meraba tiap aksaranya—membaca cerita yang ada sembari membayangkan betapa indahnya negeri dongeng. Lantas, kau tersentak dan tanpa sadar air mata mengalir. Kisah bunga Amaryllis—tekad bulat, kecantikan absolut. Bunga sewarna merah darah yang indah.

Bisakah kau menjadi berani seperti Amaryllis demi pujaan hati? Ataukah kau hanya akan terus menunggu ajal tanpa perjuangan seperti orang dungu?

Kau bahkan tak tahu seperti apa dunia yang memeliharamu sekarang ini. Terakhir kali dirimu mengunjungi dokter, mereka bilang ada kemungkinan matamu bisa kembali melihat dengan sepasang mata lain. Setelah itu, kau mengisi sebuah kotak dengan koin—berharap suatu saat nanti akan ada cahaya yang bisa kaulihat.

Harapanmu sebelum mati hanyalah menikmati dunia dan segala gemerlap keindahannya.

“Daehyun-ssi tadi mengirimiku pesan—katanya, ada donor mata untukmu—biaya ditanggung olehnya.” Ibu Panti datang dan menerjangmu dengan sebuah pelukan hangat. Isak tangisnya pecah oleh kebahagiaan membuncah dan kau bak kehilangan tumpuan untuk beberapa saat. Tubuhmu melemas. “Besok kita ke rumah sakit. Selamat … kau bisa segera bertemu dengan dunia.”

***

Kain kasa terakhir yang menutup dilepas, kau masih memejamkan matamu ketika akhirnya dokter memberi instruksi bagimu untuk membukanya. Silau, kau membuka perlahan dan semua terlihat buram. Mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya semua terlihat jelas—apa ini dunia yang memeliharamu?

Tak tertahankan, kau meneteskan air matamu—terlampau sulit menjelaskan kebahagiaanmu dengan rangkai frasa. Kau mengedarkan pandangan ke sekeliling, semua orang yang ada di sana kurang lebih sama denganmu—berbahagia atas kebahagiaanmu.

“Ibu Panti,” ucapmu ketika tubuhmu dipeluk erat oleh seorang wanita paruh baya. “Aku—astaga, harus bicara apa ….”

Pelukan Ibu Panti mendadak terasa mengerat, kau mengernyit bingung namun berusaha untuk tidak mengindahkannya untuk sekarang sebab kau tengah berada di puncak kebahagiaan. “Berterimakasihlah pada Jung Daehyun, Nak.” Ibu Panti melepas pelukannya dan melirik seorang pemuda yang berdiri di sampingnya.

Kau meletakkan telapakmu di depan dada—tidak berdebar seperti biasanya, mungkin karena kau masih belum bisa membedakan rasanya karena kau juga sedang luar biasa bahagia sekarang. “Hai … Daehyun-a. Terima kasih banyak.”

Beberapa minggu berlalu dan dirimu rutin cek reguler untuk memastikan matamu cocok dan operasinya berhasil dengan sempurna. Kau senang sekali ketika Ibu Panti memberimu sebuah buku panduan braille jadi kau bisa belajar membaca alfabet dengan cepat—buku dari Daehyun, katanya.

Kau merasa namamu dipanggil berulang kali dan seorang pemuda menghampirimu. Dirinya berkata, “Aku memanggilmu hingga rasanya pita suaraku mau putus, kautahu?” guraunya.

Namun kau mengernyit tak paham. “Maaf, tapi—“

Pemuda itu terkekeh geli, walau sorot matanya mati tak berpendar. “Jahat sekali kau lupa, aku … Jung Daehyun.” Dirinya mengamati sosokmu dengan biner bergetar, berair nampak rapuh dan siap menangis kapan saja.

Akhirnya kau membungkuk meminta maaf berkali-kali. “Maaf, aku tidak familiar dengan suaramu, Daehyun-a—belakangan suaramu aneh.” Kau merasakan degup jantungmu—tenang sekali dan tidak berdegup kencang.

Pemuda itu mencoba tersenyum walau matanya tak bisa berbohong jika beban yang ada di pundaknya mendadak terasa terlampau berat. “Ayo kutemani cek reguler.”

***

Ahri memanggilmu tepat sebelum jam tidur, telapaknya yang kecil menggenggam kelingkingmu seolah tak ingin kau pergi sembari melangkah menuju kamarnya. Teman sekamar Ahri, si kembar Junseo dan Junhong baru diadopsi pagi tadi jadi kamar dengan tiga matras terasa begitu menyeramkan bagi Ahri.

Kau tersenyum paham, akhirnya membaringkan tubuhmu di samping Ahri sambil mengelus kepalanya penuh kasih sayang. Melodi indah mengalun dari bibirmu, mengantar Ahri pada tidurnya.

Eonni, matamu berubah warna.” Ahri menggunakan jemari kecilnya untuk menangkup pipimu. “Dulu hitam sekali seperti langit malam, tapi sekarang kelabu seperti langit mendung.” Gadis kecil itu mendikte warna sesuai dengan yang dilihatnya, tutur katanya polos namun kau merasa relung hatimu tercabik. Kau bahkan tak bisa berterima kasih pada pemilik mata yang kini bersarang di pelupukmu—atau bahkan pada keluarganya.

Anonim, begitulah yang selalu kaudengar.

“Begitukah?”

Ahri mengangguk antusias walau matanya sudah berulang kali terkatup dan membuka, dikuasai kantuk. “Jika dengan mata yang kelabu ini Eonni senang—aku juga ikut senang karena aku sayang Eonni.” Gadis kecil itu menggeser posisinya, memeluk tubuhmu erat sambil menyamankan posisi. Jemari mungilnya meremas pakaianmu kuat sekali. “Tapi aku rindu Oppa—aku juga sayang Daehyun-oppa. Kapan berkunjung lagi?”

Kau mengernyit. “Tadi pagi Daehyun datang, kamu lupa?”

Ahri hanya mendengung, kantuk sudah menuntunnya terlalu jauh menuju tidur. “Daehyun-oppa tidak datang ….”

***

Pikiranmu selalu mengawang, nalarmu tak pernah ada di tempat yang seharusnya—semua ini membuat kepalamu pening bukan main. Mungkin Ahri hanya anak kecil, tak banyak orang sudi untuk menaruh kepercayaan untuk seorang gadis yang ditemukan menangis sendirian di gang gelap nan sempit. Tapi kalimat lugunya—kau tak mungkin mengabaikan cara bicara gadis itu.

Tak ada gurat kebohongan, barang hanya sedikit.

Pagi-pagi sekali ketika kau membantu membuat sarapan di dapur bersama Ibu Panti, dering ponsel tiba-tiba memecah keheningan. Wanita paruh baya itu meninggalkan panci sup dan mengangkat sambungan, mengangguk beberapa kali dan menyatakan persetujuan sebelum kembali mengurus sarapan bersamamu.

“Semalam Ahri bilang ingin bertemu Daehyun—padahal kemarin Daehyun datang, kan?” Jemarimu yang lentik bergerak halus mengupas kulit telur rebus. Terdiam cukup lama menunggu jawaban.

“Sayang,” ucap Ibu Panti, netranya menerawang seolah beribu pikiran sedang menggantung di kepalanya. Memandangmu getir, nampak sedih walau sesungguhnya kau juga tidak tahu atas dasar apa harus ada kesedihan di duniamu yang sekarang. “Bersiaplah, setelah sarapan Youngjae akan mengajakmu berjalan-jalan.”

Alismu bertautan. “Youngjae, siapa?”

***

Udara pagi masih terasa sangat segar. Kau menunggu di depan panti dengan sedikit senandung dari bibirmu—lagu yang sama dengan lagu yang sering Daehyun nyanyikan. Tak banyak waktu yang terbuang, binermu mendadak berbinar.

“Hei, Daehyun-a! Kenapa tak bilang-bilang akan datang?”

Pemuda itu tak menjawab dengan lisan, hanya saja gerak tubuhnya menuntunmu masuk ke dalam mobil. Duduk di samping kursi kemudi yang dibawa pemuda itu. Kau diam, ada yang berbeda—biasanya pemuda itu rajin mampir ke panti walau akhirnya hanya akan membamu pergi.

“Daehyun-a, tidak mampir dulu?” Kau meremas sabuk pengaman yang tadi dipasangkan menyilang di tubuhmu. “Ahri bilang, ingin bertemu denganmu—apa kita perlu memutar balik?”

Tak ada yang menjawab.

Kau memutuskan untuk diam sepanjang perjalanan.

Tanpa tahu akhirnya kau akan dibawa ke mana.

Lantas, mobilnya menepi setelah sekitar empat puluh lima menit menyusuri kepadatan jalanan kota hingga pinggiran kota. Pemuda yang duduk di samping kemudi itu menatapmu lamat-lamat dengan binernya yang berkaca-kaca. “Ibu Panti tadi mengatakan kau akan pergi bersama siapa, kan?” tanyanya, nampak memastikan dengan pikirannya yang mulai semrawut.

Kau menyampirkan rambut ke belakang telingamu, balik menatap pemuda yang tak mengalihkan fokusnya darimu. “Daehyun-—“

“Berhenti panggil aku dengan nama itu.” Suaranya rapuh, seakan siap runtuh tiap kali kau mencoba memanggilnya. Matanya sudah memerah dan keningnya mengerut gusar. “Tak ada yang Daehyun di sini—jadi berhenti berasumsi kalau dia ada di sini.” Pemuda itu keluar dari mobil, membuka pintu di samping posisimu dan menarikmu keluar.

Langkahmu terseret oleh langkah cepatnya yang tanpa segan menginjak rerumputan basah di jalan setapak. Kau bungkam, menatap pemuda itu dari belakang. Rambutnya, bahunya, punggungnya—jika bukan Daehyun, siapa?

“Aku berdosa jika terus berbohong—aku juga berdosa jika mengingkari janjiku untuk sahabatku.”

Matamu membola.

Hei!

Siapa saja!

Katakan jika matamu salah melihat!

Keliru, kan?!

“Seperti yang kau lihat, itu Daehyun. Aku sahabatnya.” Pemuda itu memegangimu yang nyaris ambruk. “Awal tahun, Daehyun tertabrak mobil ketika pagi-pagi sekali berbelanja untuk anak-anak panti—di sisa kesadarannya di rumah sakit, dia tak ingin kau tahu jika kau melihat dengan matanya, tak ingin kau tahu jika kau telah kehilangan Daehyun untuk selamanya. Mata itu adalah hadiah ulang tahun untukmu.”

Kau menelan liurmu gugup, berjongkok untuk menyentuh gundukan tanah dengan nisan bertuliskan nama orang yang sangat ingin dilihatnya. “Jahat …,” gumam bibirmu, berusaha menahan tangismu walau akhirnya meleleh juga dengan mengenaskan di pipimu.

“Ini kisah tentang dunia kalian—adakah kisah yang lebih romantis dari ini?”

Untuk kali pertama, kau menggunakan mata Daehyun untuk menangis sebab kesedihan tak mampu lagi kau bendung. Mungkin Daehyun akan marah, tapi, tolong izinkan dirimu sekali ini saja menangis—besok, kau berjanji akan menggunakan mata ini untuk melihat segala hal baik, untuk mencintai dunia yang telah merawatmu lebih dan lebih lagi.

***

END

Leave your comments, B.A.B.Y ~